La Mappa Karaeng Rappocini Arung Tonra

La Mappa Karaeng Rappocini Arung Tonra, adalah Raja di daerah Tonra, sebuah daerah di Kabupaten Bone, tepatnya di bagian Bone Selatan. 

La Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini dalam Perang Makassar berpihak kepada Kerajaan Gowa, dan turut bertempur bersama pasukan Gowa ketika terjadi perang Makassar, perang antara Kerajaan Gowa Melawan Kerajaan Bone dengan sekutunya Belanda. 

Diceritakan dalam sejarah bahwa Kerajaan Gowa mampu dikalahkan oleh kerajaan Bone dengan bantuan Belanda, sehingga terjadilah perjanjian Bungaya dan perjanjian ini sangat merugikan Kerajaan Gowa. Para pembesar Kerajaan Gowa tidak menerima isi perjanjian tersebut sehingga banyak meninggalkan Kerajaan Gowa dan melanjutkan medan pertempuran dengan Belanda di Tanah Jawa. 

Perjuangan Karaeng Galesong dan kawan kawan berlanjut ke tanah Jawa. Karaeng Galesong melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Panembahan Maduretno) dalam memerangi VOC Belanda. Dalam Ekspedisi tersebut terbagi ke dalam beberapa Gelombang, yakni;

Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar Karaeng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan laskarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (Karaeng Tallo), I Ata Tojeng Daeng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori Karaeng Mangeppe’ dan Syaiful Muluk Karaeng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Laskar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671.

Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta Matinroe ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera Karaeng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Laskar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini berlabuh di Banten pada tanggal 16 September 1671.

Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannindori Kare' Tojeng Karaeng Galesong, dimana dalam kontingen ini pula turut ikut Abdul Hamid Daeng Mangalle bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Gowa lainnya. Mereka itu adalah I Adulu' Daeng Mangalle (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah Daeng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 laskar bersenjata lengkap. Mereka berlabuh di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.

Setelah semua pasukan Makassar berkumpul di Banten, diadakanlah pertemuan untuk menyusun strategi penyerangan. Syekh Yusuf, yang  hadir dalam pertemuan itu, mengusulkan agar karaeng Bontomarannu dan Karaeng Galesong bersama sebagian pasukannya bergerak ke Jawa Timur untuk bergabung dengan pasukan Trunojoyo dan Adipati Anom yang sedang berontak melawan pemimpin Mataram,  Amangkurat I.

Pemberontakan ini terjadi karena Amangkurat I dianggap terlalu keras dan  telah bekerjasama dengan VOC. Sementara  adik Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu bersama Syekh Yusuf dan Daeng Mangalle yang saat itu telah memperistri  putri Sultan Banten, Angke Syafiah, akan tetap bertahan di Banten.

Di Banten, Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah dan La Mappa Karaeng Rappocini Arung Tonra ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrayasa, melawan putranya Abd. Nas’r Abd. Kahar Sultan Haji  yang berperang di pihak Belanda pada tahun 1672, Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda.

Kiprah Arung Tonra dengan I Fatimah bersama pasukan Balira tidak hanya di Banten, ia juga ikut membantu Kerajaan Mataram bersama Karaeng Galesong. Sesuai pesan Raja Gowa Sultan Hasanuddin, agar Karaeng Galesong selalu menjaga adiknya. Sehingga dimana Karaeng Galesong melakukan serangan, di sana pula I Fatimah dan pasukan Baliranya. 

Baik pasukan Tubarani pimpinan Karaeng Galesong maupun pasukan Balira pimpinan I Fatimah, semuanya sudah dilengkapi dengan persenjataan dan ilmu beladiri. Mereka tidak hanya jago berkelahi di darat, juga di laut punya keberanian yang sama. 

Sementara di Mataram, dari tahun 1676 sampai 1679, terjadi pertempuran antara pasukan Amangkurat  yang mendapat bantuan Belanda, berhadapan dengan Trunojoyo bersama bantuan pasukan dari Makassar. Kemenangan demi kemenangan diraih pasukan Trunojoyo bersama pasukan dari Makassar. Mereka berhasil merebut kraton plered, ibukota Mataram, dan kemudian memindahkan ibukota kerajaan  ke Kediri.

Setelah Sultan Amangkurat I wafat,  dan di gantikan Sultan Amangkurat II. Mereka kembali mempersiapkan kekuatan. Dengan bantuan pasukan Belanda, mereka berhasil merebut  wilayah yang di kuasai Trunojoyo dan  mendudukkan kembali Sultan Amangkurat II sebagai Raja Mataram. Peperangan kemudian berakhir tahun 1679, setelah wafatnya Karaeng Galesong dan tertangkapnya Raden Trunojoyo oleh Belanda di Malang.

Pada tahun 1682, Sultan Ageng Tirtajasa berhasil di tangkap Belanda, I Fatimah dan suaminya Maulana bersama La Mappa Karaeng Rappocini Arung Tonra bergerilya di hutan-hutan bersama stech Yusuf dan Daeng Mangalle, di lokasi persembunyian, Belanda melakukan serangan mendadak hingga pasukan I Fatimah kocar kacir dan menyebabkan suami istri I Fatimah dan Maulana terpisah.

I Fatimah berlayar  ke utara bersama Daeng Talibe Karaeng Malukessy dan La Mappa Arung Tonra hingga ke Kerajaan Mempawah (bangkule Rajangnk) Kalimantan Barat, dan tinggal di Pulau Temajo. Sementara Daeng Mangalle bersama istri dan anaknya, Daeng Ruru, serta sisa pasukan yang masih hidup, melarikan diri ke Kerajaan Siam Thailand dan Syekh Yusuf bersama sisa pasukan yang ada, harus lari ke hutan sampai akhirnya tertangkap dan di buang ke Ceylon, Srilangka, dan  selanjutnya ke Cape Town Afika Selatan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arung Tonra

Kematian